Gagasan pendirian khilafah ditolak oleh rakyat Indonesia. Demikian kesimpulan hasil survei opini publik yang dirilis oleh Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC), 4/6. Survei yang dilakukan pada bulan Mei 2017 secara nasional itu menemukan bahwa dari 66,4% yang tahu ISIS (negara Islam Irak dan Syiria), 89,6% menyatakan tidak atau sangat tidak setuju dengan perjuangan mereka. Bahkan 91,3% di antaranya mendukung negara melakukan pelarangan.
Lebih jauh, hasil survei yang dipaparkan oleh peneliti utama SMRC, Saiful Mujani, itu juga menemukan bahwa 9 dari 10 (89,3%) rakyat Indonesia menganggap ISIS adalah ancaman pada Negara Kesatuan Republik Indonesia yang bersendikan Pancasila dan Undang-undang Dasar 1945. 92,9% menyatakan ISIS tidak boleh hidup di Indonesia.
Bagaimana dengan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang juga memiliki gagasan dan perjuangan pendirian khilafah? Tidak berbeda dengan ISIS, penolakan pada organisasi ini juga sangat tinggi. Dari 28,2% warga yang tahu, 56,7% mengetahui HTI memperjuangkan gagasan khilafah. 68,8% warga menyatakan menolak perjuangan mereka. Sementara dari 75,4% yang tahu niat pemerintah membubarkan HTI, 78,4% menyetujuinya.
Temuan ini sejalan sikap umum masyarakat Indonesia (99%) yang bangga sebagai warga negara Republik Indonesia. Ketika ditanya apakah bersedia menjadi relawan penjaga NKRI, 84,5% menyatakan bersedia dan sangat bersedia.
Dukungan pada NKRI yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 nampak masih sangat solid dalam temuan ini, yakni 79,3%. Namun begitu, ada 9,2% rakyat yang menganggap bahwa bentuk NKRI perlu diganti menjadi negara Islam atau khilafah yang bersandar pada al-Qur’an, hadits dan pendapat ulama tertentu.
Survei ini juga menemukan 14,5% warga menganggap Indonesia sekarang ini melemah dan karenanya berada dalam ancaman besar. 89,3% di antaranya menganggap hal itu adalah masalah yang sangat serius. Bahkan 75% (10% dari total populasi nasional) di antaranya menganggap Indonesia, karena itu, akan terjerumus dalam perang saudara.
Sementara itu, yang dianggap sebagai penyebab utama adalah karena adanya ancaman dari paham-paham agama tertentu (39,4%). Dalam jumlah yang jauh lebih rendah karena pelaksanaan negara dan elite yang hanya memikirkan kepentingan mereka sendiri. Dalam jumlah yang lebih kecil lagi kekhawatiran itu bersumber dari ketimpangan kesejahteraan antara warga ataupun antara daerah.
Pertanyaan Survei
Survei yang menggunakan dana CSR SMRC ini bertujuan untuk merespons pertanyaan yang muncul di masyarakat terkait isu-isu fundamental negara-bangsa yang mengemuka belakangan ini, yaitu tentang apakah Indonesia dalam bentuk yang sekarang bisa bertahan? Menurut Saiful Mujani, pertanyaan itu muncul bukan terutama karena perubahan sosial ekonomi, seperti ketimpangan pendapatan, karena hal itu bukan gejala baru, sementara kekhawatiran soal kelangsungan NKRI relatif baru. Demikian pula dengan intoleransi dan teror, hal itu juga bukan gejala baru.
Karena itu, lanjut Mujani, kemungkinan yang paling kuat menjadi penyebab menguatnya keprihatian akan kelangsungan NKRI adalah munculnya fenomena gerakan ISIS yang secara eksplisit memperjuangkan gagasan penggantian dasar dan bentuk negara.
Kekhawatiran itu, menurut Mujani, tidak berlebihan mengingat expose media tentang bagaimana Irak dan Syiria hancur lebur di bawah teror dan kekuasaan ISIS begitu tinggi. Pada saat yang sama, Indonesia memiliki pengalaman sejarah gerakan Darul Islam (DI) atau Tentara Islam Indonesia (TII) dan Negara Islam Indonesia (NII) yang lebih belakangan. Dan sekarang yang secara terang-terangan mengkampanyekan cita-cita pendirian khilafah adalah Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). “Kecemasan itu beralasan karena ISIS seperti membangunkan “yang sedang tidur” di tanah air,” kata Saiful Mujani.
Faktor-faktor Terkait
Survei ini juga melacak faktor-faktor yang mempengaruhi sikap publik pada ISIS dan HTI. Rasa nasionalisme merupakan faktor paling penting yang memunculkan sentimen negatif warga pada ISIS, bukan sentimen terhadap demokrasi maupun kondisi sosial-ekonomi, politik, hukum, maupun keamanan.
Berbeda dengan sikap terhadap ISIS, nasionalisme bukan faktor penting bagi simpati atau antipati pada HTI. Yang memperlemah HTI adalah komitmen pada demokrasi, dan kondisi positif di tanah air dalam ekonomi, politik, hukum, dan keamanan, serta kinerja kepemimpinan nasional. Memburuknya kondisi faktor-faktor tersebut dapat memperkuat dukungan pada HTI.
Secara politik kepartaian, dukungan pada HTI beririsan dengan dukungan pada partai politik tertentu. Sikap positif pada HTI cenderung lebih banyak ditemukan pada pendukung PKS dan PPP. Secara demografis, sikap positif pada HTI dapat ditemukan lebih banyak di kalangan warga perkotaan, dan berumur lebih muda.
Di akhir paparannya, Saiful Mujani menyimpulkan bahwa jika sikap publik diartikan sebagai sikap kebanyakan orang, maka “ISIS, HTI, dan yang sejenis dengan itu adalah musuh publik Indonesia (public enemy).” [SA]